Selasa, 24 Agustus 2010

APLIKASI DAN IMPLIKASI TEORI BEHAVIORISME DALAM PEMBELAJARAN (Analisis Strategis Inovasi Pembelajaran)

Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol. I, No.1 (Maret 2009)

ABSTRACT
Muh. Hizbul Muflihin: Learning and teaching are inseparable but not identical. Learning is more descriptive, while teaching more prescriptive. From behavioristic point of view, a teacher should be able to create an atmosphere which enables students to build
the expected competence. When this is achieved, it should be followed with reinforcement to make it part of students memory.
Key words : learn, behavioristic learning, inovation learning

Pembelajaran merupakan istilah yang kini akrab dipakai dalam dunia
pendidikan (khususnya pendidikan formal/persekolahan). Secara filosofis
pembelajaran, pada hakikatnya, lebih bersifat membumi atau humanis, bukan
hanya karena lebih menekankan pada arti pentingnya pelaksanaan proses
pendidikan dengan lebih memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan anak,
melainkan juga karena lebih menekankan pada arti pentingnya memenuhi
kebutuhan anak serta membantu perkembangan bakat, minat dan kemampuan
anak. Hanya saja, dalam praktik pendidikan keseharian, masih sering dijumpai
pelaksanaan pembelajaran yang bernuansa pengajaran (instruction) daripada
pembelajaran itu sendiri. Berangkat dari perkembangan yang sangat cepat dan
mutakhirnya kemajuan TIK (Teknologi Informasi dan Komputer), masalah
sumber belajar sudah tidak lagi berpusat pada guru. Adalah sangat mungkin
bahwa peserta didik atau siswa akan belajar atau mendapatkan informasi dari soft
ware-soft ware yang ada, misalnya melalui e-learning.
______________
Drs. Muh. Hizbul Muflihin, M.Pd. adalah dosen tetap dengan jabatan akademik
Lektor Kepala dan jabatan struktural sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
(PAI) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto. Penulis ini sekarang
tengah melanjutkan studi S3 Jurusan Manajemen Pendidikan di Universitas Islam
Nusantara (UNINUS) Bandung.
Muh. Hizbul Muflihin, Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme…
124
Mencermati perkembangan dan kemajuan TIK yang sangat pesat, keadaan
tersebut memungkinkan bahwa informasi dan pengetahuan jauh lebih cepat
dimiliki dan dikuasai oleh siswa jika dibanding oleh guru. Hal ini berkat
kecepatan dan kemampuan siswa dalam mengakses sumber belajar di luar jam
pelajaran. Mencermati keadaan semacam inilah menjadi sangat penting arti
pentingnya untuk menengok kembali konsep-konsep psikologi pendidikan tentang
belajar. Tulisan ringkas ini hanya akan mengurai teori behaviorisme dalam
pembelajaran, oleh karena konsep yang ditawarkan relatif bisa diterapkan dalam
proses belajar dan pembelajaran.
Konsep Belajar dan Pembelajaran
Belajar secara sederhana dapat diartikan dengan membaca buku,
menyelesaikan pekerjaan rumah (PR), mengeja tulisan, sebagaimana yang sering
kita dengar dari ungkapan orang tua kepada anaknya “ayo belajar yang benar,
jangan bermain-main saja, pokoknya membaca apa saja”. Batasan makna yang
demikian ini sejalan dengan sifat belajar itu sendiri, yaitu makna deskriptif. Dalam
kondisi seperti apa dan sejauh mana anak bisa mendapatkan tambahan informasi
dan pengetahuan, inilah yang diharapkan terjadi dalam aktivitas belajar. Dalam
konteks ini, cukup penting untuk mencermati terjadinya perubahan pada diri
siswa, dan penting juga untuk mengetahui dari mana informasi serta pengetahuan
itu diperoleh.
Konsep belajar, secara umum, dapat dilihat dari tiga perspektif aliran,
yaitu: nativisme, empirisme dan organismik. Paham nativisme lebih memandang
bahwa belajar adalah suatu aktivitas berupa melatih daya ingat atau otak (interaksi
anak dengan objek belajar, misalnya buku, majalah) agar menjadi tajam, sehingga
mampu memecahkan persoalan atau masalah yang akan dihadapi dalam
kehidupan. Paham ini lebih beranggapan bahwa anak dapat dikatakan telah
belajar jika pada gilirannya dia mampu menerapkan atau mengaplikasikan
konsep-konsep pengetahuan yang didapat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal
ini berarti apa yang telah didapat oleh siswa tersebut dapat ditransfer atau
dipindah dalam sektor atau masalah yang lain. Dengan demikian, belajar dalam
kacamata nativisme dapat dimaknai sebagai terjadinya perubahan struktural pada
diri anak. Tegasnya adalah perubahan cara berpikir dan menganalisis persoalan
yang ada di sekitarnya. Dengan sendirinya, paham nativisme lebih mementingkan
olah pikir otak atau kecerdasan otak dalam proses belajar.
Berbeda dengan paham nativisme, paham empirisme memaknai belajar
sebagai suatu aktivitas menambah informasi atau pengetahuan dan atau pengayaan
adanya bentuk pola-pola respons baru yang mengarah pada perubahan tingkah
laku siswa. Dengan demikian, kegiatan belajar guru lebih banyak menekankan arti
pentingnya siswa, misalnya berupa kegiatan menghapal materi/rumus. Jika hal ini
yang menjadi titik tekan, maka munculnya perubahan tingkah laku dalam
pembelajaran lebih banyak diharapkan adanya. Sebab, hal inilah yang dapat
diamati dan diukur sebagai hasil dari respons terhadap objek belajar baik secara
kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Muh. Hizbul Muflihin, Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme…
125
Paham organismik memandang bahwa belajar adalah terjadinya
perubahan perilaku dan pribadi siswa secara keseluruhan. Sehingga, belajar di sini
bukan saja merupakan bentuk respons secara mekanistik belaka, melainkan
merupakan perubahan yang sifatnya komprehensif-simultan di antara beberapa
unsur atau komponen yang ada dalam diri anak, yang mengarah pada suatu tujuan
tertentu. Segala hal yang dihasilkan dari aktivitas siswa; apakah dari membaca,
mendengar, memperhatikan, atau mencermati, akan dapat membawa pada
munculnya perubahan pada diri anak. Dengan kata lain, anak telah mengalami
proses belajar.
Menurut Abin Syamsuddin Makmun (1983), belajar dapat diartikan
sebagai terjadinya perubahan pada diri individu yang belajar, dan yang
dimaksudkan dengan perubahan dalam konteks belajar itu dapat bersifat
fungsional atau struktural, material dan perilaku serta keseluruhan pribadi yang
bersifat multi dimensi. Perubahan tingkah laku ini, menurut Oemar Hamalik
(1978: 42), mengandung perubahan segi jasmani (struktural) dan rohani
(fungsional), yang keduanya saling berinterkasi. Pola tingkah laku yang semacam
ini terdiri atas aspek pengetahuan, pengertian, sikap, keterampilan, kebiasaan,
emosi, budi pekerti, apresiasi, jasmani, hubungan sosial, dan lain-lain.
Walaupun ketiga paham atau aliran di atas memiliki pandangan dan
pendapat yang berbeda, namun ketiganya mempunyai inti makna substantif yang
sama, yaitu bahwa belajar dapat dimaknai dengan suatu aktivitas individu baik
secara fisik, psikis baik berupa membaca, mengamati, mendengar dan melihat
segala macam objek belajar yang ada di sekitarnya sehingga membawa pengaruh
pada dirinya dalam bersikap, bertingkah laku, dan berbuat dalam kehidupan
sehari-hari.
Tokoh dan Pendapat Teori Behavioristik tentang
Belajar dan Pembelajaran
Aliran behavioristik yang lebih bersifat elementaristik memandang
manusia sebagai organisme yang pasif, yang dikuasai oleh stimulus-stimulus yang
ada di lingkungannya. Pada dasarnya, manusia dapat dimanipulasi, tingkah
lakunya dapat dikontrol dengan jalan mengontrol stimulus-stimulus yang ada
dalam lingkungannya (Mukminan, 1997: 7). Masalah belajar dalam pandangan
behaviorisme, secara umum, memiliki beberapa teori, antara lain: teori
Connectionism, Classical Conditioning, Contiguous Conditioning, serta
Descriptive Behaviorisme atau yang lebih dikenal dengan nama Operant
Conditioning.
Tokoh-tokoh penting yang mengembangkan teori belajar behavioristik,
dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Thorndike
Teori koneksionisme yang dipelopori oleh Thorndike, memandang bahwa
yang menjadi dasar terjadinya belajar adalah adanya asosiasi antara kesan
panca indera (sense of impression) dengan dorongan yang muncul untuk
Muh. Hizbul Muflihin, Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme…
126
bertindak (impuls to action) (Mukminan, 1997 : 8). Ini artinya, toeri
behaviorisme yang lebih dikenal dengan nama contemporary behaviorist ini
memandang bahwa belajar akan terjadi pada diri anak, jika anak mempunyai
ketertarikan terhadap masalah yang dihadapi. Siswa dalam konteks ini
dihadapkan pada sikap untuk dapat memilih respons yang tepat dari berbagai
respons yang mungin bisa dilakukan. Toeri ini menggambarkan bahwa
tingkah laku siswa dikontrol oleh kemungkinan mendapat hadiah external
atau reinforcement yang ada hubungannya antara respons tingkah laku
dengan pengaruh hadiah.
Bagi guru yang setuju dengan teori behaviorisme ini mengasumsikan
bahwa tingkah laku siswa pada hakikatnya merupakan suatu respons terhadap
lingkungan yang lalu dan sekarang, dan semua tingkah laku yang dipelajari (Sri
Esti Wuryani Djiwandono, 1989: 51). Mencermati asumsi ini, apa sebenarnya
tugas utama guru? Yakni, bagaimana guru mampu menciptakan lingkungan
belajar (lingkungan kelas atau sekolah) pada diri siswa yang dapat memungkinkan
terjadinya penguatan (reinforcement) bagi siswa. Lingkungan yang dimaksud di
sini bisa berupa benda, orang atau situasi tertentu yang semuanya dapat
berdampak pada munculnya tingkah laku anak yang dimaksud. Sebagai ilustrasi
dapat digambarkan sebagai berikut :
A
B
C
Mencermati paparan gambar di atas, dapat dipahami bahwa siswa yang
memiliki perangai suka mengganggu (Jawa : usil) terhadap temannya pada setiap
waktu (dan teman tersebut juga bersikap kooperatif mau menanggapi obrolan dia,
sehingga lingkungan bersifat kondusif atau memberikan penguatan), maka kondisi
semacam ini menjadikan siswa tersebut memiliki sikap untuk senantiasa
berperilaku sebagai pengacau. Sebaliknya, pada contoh B, karena lingkungan
tidak memberikan penguatan (reinforcement) terhadap sikap atau tingkah laku
siswa (sehingga dia bersikap suka), kondisi semacam ini menjadikan siswa
berperilaku sebagai seorang pendiam. Sedangkan pada contoh C, siswa yang
berada dalam lingkungan berupa ketersediaan sumber belajar (berupa buku,
majalah, komputer dan sejenisnya, sehingga hal ini memberikan penguatan pada
diri siswa), maka hal ini menjadikan siswa paham, mengerti dan terampil dalam
menggunakan sumber belajar terebut).
Menurut Thorndike, belajar akan berlangsung pada diri siswa jika siswa
berada dalam tiga macam hukum belajar, yaitu : 1) The Law of Readiness (hukum
Siswa
Siswa
Siswa
Suka mengganggu
Suka menyendiri
Buku, komputer Paham, terampil
pendiam
pengacau
Muh. Hizbul Muflihin, Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme…
127
kesiapan belajar), 2) The Law of Exercise (hukum latihan), dan 3) The Law of
Effect (hukum pengaruh). Hukum kesiapan belajar ini merupakan prinsip yang
menggambarkan suatu keadaan si pembelajar (siswa) cenderung akan
mendapatkan kepuasan atau dapat juga ketidakpuasan. Dalam konteks ini,
Mukminan (1997 : 9) menyatakan bahwa ada 3 keadaan yang mungkin terjadi :
1. Jika suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, maka konduksi
dengan unit tersebut akan membawa kepuasan.
2. Jika suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, tetapi tidak
berkonduksi, maka akan menimbulkan ketidakpuasan.
3. Jika suatu unit konduksi yang tidak siap berkonduksi dipaksakan untuk
berkonduksi, maka konduksi itu akan menimbulkan ketidakpusan.
Proses belajar pada diri siswa akan terjadi jika si anak berada dalam
kondisi siap untuk belajar (berinteraksi dengan lingkungan). Di antara indikator
anak dalam kondisi siap belajar adalah :
1. Anak dapat mengerti dan memahami orang lain (guru, teman, dan orang
lain yang ada di sekolah). Dalam kondisi seperti ini, anak tidak akan
merasa asing, atau tidak punya teman untuk meminta tolong, sebagaimana
jika dia berada di rumah dekat dengan orang tuanya.
2. Anak berani mengutarakan apa yang ada dalam benak pikiran atau
keinginannya (karena ada orang yang akan melindungi dan melayaninya,
misalnya mau kencing ke belakang, tidak punya alat tulis, bukunya
ketinggalan, dan sejenisnya)
3. Anak dapat memahami dan mampu melakukan apa yang diperintahkan
atau diajarkan oleh gurunya.
Hukum latihan ini mengandung 2 macam hukum, yaitu 1) low of use, yaitu
hubungan akan menjadi bertambah kuat jika ada latihan, dan 2) low of disuse,
yaitu hubungan akan menjadi melemah atau terlupakan kalau latihan dihentikan.
Hukum ini mengandung makna bahwa proses belajar pada diri anak (terampil jika
diminta mempraktikkan, dapat menjelaskan ketika ditanya, karena si anak sering
berlatih uji keterampilan atau senantiasa membaca), akan berhasil atau tidak
berhasil sangat ditentukan oleh seberapa banyak dan efektif latihan yang diterima.
Semakin sering dan banyak siswa melakukan latihan, akhirnya dia akan terampil
melakukannya. Semakin sering siswa membaca atau mengulangi materi yang
dipelajari, maka anak akan menjadi semakin tahu dan paham.
Sedangkan hukum hasil ini mengisyaratkan bahwa makin kuat dan atau
makin lemahnya suatu hubungan sebagai akibat dari hasil respons yang dilakukan.
Ini artinya hadiah yang diterima anak atau prestasi belajar yang memuaskan dapat
diraih, akan berakibat diulanginya atau dilanjutkannya respons atau perbuatan
dimaksud. Sebabnya, adalah karena apa yang ia lakukan dipahami sehingga akan
dapat membawa hadiah atau membawa keberhasilan.
Muh. Hizbul Muflihin, Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme…
128
2. Pavlov
Konsep teori yang dikemukakan oleh Ivan Petrovitch Pavlov ini
secara garis besar tidak jauh berbeda dengan pendapat Thorndike. Jika
Throndike ini menekankan tentang hubungan stimulus dan respons, dan di
sini guru sebaiknya tahu tentang apa yang akan diajarkan, respons apa yang
diharapkan muncul pada diri siswa, serta tahu kapan sebaiknya hadiah
sebagai reinforcement itu diberikan; maka Pavlov lebih mencermati arti
pentingnya penciptaan kondisi atau lingkungan yang diperkirakan dapat
menimbulkan respons pada diri siswa.
Sebagai ilustrasi yang dilakukan oleh Pavlov adalah percobaannya pada
seekor anjing. Dia berharap agar air liur ajing itu bisa keluar bukan karena adanya
suatu makanan, akan tetapi oleh adanya kondisi tertentu yang sengaja dibuat.
Singkatnya, percobaan Pavlov adalah sebagai berikut :
CS dan UCS diberikan tidak bersamaan :
 CS = bel dibunyikan  air liur tak keluar
 UCS = daging diberikan  air liur keluar (UCR)
Diberikan bersamaan & berkali-kali CS + UCS :
 CS = bel dibunyikan
+  air liur keluar
(UCR)
 UCS = daging diberikan
Dari contoh tersebut di atas jika kita kaitkan dengan proses pembelajaran,
dapat dianalogkan bahwa jika guru berharap siswa dapat menghapalkan materi
berupa ayat pada surat Al- Waqi`ah (di mana siswa harus hapal semua ayat), dan
ternyata siswa ini dapat menghapalkannya. Kemudian dalam kondisi seperti ini
anak tidak mendapatkan nilai akhir (raport) yang lebih baik (dibanding dengan
kawan yang lain), maka jika kelak suatu ketika ia diminta untuk menghapalkan
lagi dia tak akan berusaha menghapalkannya (karena ia tahu hapal pun besok
tidak akan mendapat nilai yang baik). Dalam segmen bagian akhir dari
contoh di atas, anak diminta menghapalkan suatu ayat dan kepadanya disediakan
pula sejumlah hadiah (misalnya gratis SPP) setiap saat, maka anak itu dengan
sendirinya akan terus berusaha untuk dapat menghapalkan ayat dimaksud (karena
ia tahu hal ini akan membawa hasil, yaitu mendapatkan hadiah).
3. E.R Guthrie
Pendapat Thorndike dan Pavlov ini ditegaskan lagi oleh Guthrie, di mana
ia menyatakan dengan hukumnya yaitu “The Law of Association”, yang
berbunyi : “A combination of stimuli which has accompanied a movement
will on its recurrence tend to be followed by that movement” (Guthrie, 1952 :
13). Secara sederhana dapat diartikan bahwa gabungan atau kombinasi suatu
kelas stimuli yang menyertai atau mengikuti suatu gerakan tertentu, maka ada
kecenderungan bahwa gerakan itu akan diulangi lagi pada situasi/stimuli yang
sama.
Muh. Hizbul Muflihin, Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme…
129
Mencermati pernyataan di atas dapat dimengerti bahwa menurut Guthrie,
belajar itu memerlukan hadiah (reward) dan adanya kedekatan antara stimulus
dengan respons. Selain itu, adanya suatu hukuman (punishment) atas ketidakmampuan
siswa dalam melaksanakan sesuatu tugas, ada sisi baiknya dan juga ada
sisi buruknya. Efektif tidaknya (sisi baik) hukuman itu sangat tergantung pada
apakah hukuman itu menyebabkan siswa menjadi belajar ataukah malah menjadi
malas belajar.
Konsep yang dikemukakan oleh Guthrie ini berisi makna bahwa belajar
pada diri siswa terjadi tidak harus mengulang-ulang urutan antara hubungan
stimulus dengan respons, serta tidak memerlukan adanya hadiah. Dia menyatakan
bahwa belajar itu akan terjadi oleh karena adanya contiguity (hubungan kontak
antara stimulus dengan respons). Tidak menjadi soal apakah respons didapat
selama latihan dengan unstimulus (US) atau dengan cara lain, sepanjang stimulus
dan respons terjadi secara bersama-sama, maka belajar itu terjadi (Sri Esti
Wuryani Jiwandono, 1989: 56)
Berdasarkan teori ini, yang menjadi tugas guru (agar menjadikan siswa
belajar) adalah memberikan stimulus kepada siswa, agar nantinya siswa mau
merespons dan ini memudahkan siswa untuk belajar. Stimulus yang diberikan ini
dapat berupa penciptaan suatu media atau ilustrasi pada bidang materi tertentu.
Guru memberikan suatu lambang tertentu lalu diikuti dengan penjelasan dan
lambang yang lain yang semisal dan semakna, maka dalam setiap kali berhadapan
dengan lambang yang sama (sebagaimana yang diberikan oeh guru) dengan
sendirinya siswa akan teringat lambang atau makna yang dimaksud.
Sebagai contoh, seorang pembina pramuka ingin menjadikan peserta
didiknya hafal huruf-huruf Morse (dengan tidak memberikan materi huruf Morse
sebagaimana yang ada dalam buku saku), pembina kemudian mengilustrasikan
dan mengambil contoh pada huruf abjad tertentu, misalnya huruf “D”. Bagaimana
huruf morsenya pada huruf “D” ini?. Kita dapat mengasosiasikan dan
mengilustrasikan bagaimana proses pembuatan/penulisan huruf “D” ini. Yang
terjadi kebiasaan orang dalam menulis huruf abjad “D” adalah dengan
menggoreskan alat tulis berupa garis tegak lurus dari atas ke bawah, kemudian
diikuti dengan garis melengkung setengah lingkaran menghadap ke kiri mulai dari
atas ke bawah (mengarah pada gerakan tangan ke kanan).
Dalam konteks ini, guru menerangkan bahwa garis tegak itu tandanya strip
( – ), sedangkan garis melengkung itu ternyata dapat dikatakan ada 2 (dua) garis
datar (1 di atas dan 1 ada di bawah) maka 2 (dua) garis datar inilah yang menjadi
lambang titik ( . . ). Dengan demikian, dapat ditarik suatu benang merah bahwa
huruf morse abjad “D” adalah : – . . Sebagai pancingan ilustrasi lagi, bagaimana
dengan morsenya huruf “B”. Sejurus kemudian kita akan dapat menyimpulkan
bahwa lambang morsenya huruf “B” adalah – . . . . Hal ini karena dalam huruf
“B” ada 1 (satu) garis tegak dan 3 (tiga) garis datar, benar bukan ?.
Muh. Hizbul Muflihin, Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme…
130
Prinsip Umum Aplikasi Teori Behavirostik
Dalam Pembelajaran
Teori behaviorisme yang menekankan adanya hubungan antara stimulus
(S) dengan respons (R) secara umum dapat dikatakan memiliki arti yang penting
bagi siswa untuk meraih keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak memberikan
stimulus dalam proses pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespons
secara positif apa lagi jika diikuti dengan adanya reward yang berfungsi sebagai
reinforcement (penguatan terhadap respons yang telah ditunjukkan). Oleh karena
teori ini berawal dari adanya percobaan sang tokoh behavioristik terhadap
binatang, maka dalam konteks pembelajaran ada beberapa prinsip umum yang
harus diperhatikan. Menurut Mukinan (1997: 23), beberapa prinsip tersebut
adalah:
1. Teori ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar adalah perubahan
tingkah laku. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang
bersangkutan dapat menunjukkan perubahan tingkah laku tertentu.
2. Teori ini beranggapan bahwa yang terpenting dalam belajar adalah adanya
stimulus dan respons, sebab inilah yang dapat diamati. Sedangkan apa yang
terjadi di antaranya dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati.
3. Reinforcement, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respons,
merupakan faktor penting dalam belajar. Respons akan semakin kuat apabila
reinforcement (baik positif maupun negatif) ditambah.
Jika yang menjadi titik tekan dalam proses terjadinya belajar pada diri
siswa adalah timbulnya hubungan antara stimulus dengan respons, di mana hal ini
berkaitan dengan tingkah laku apa yang ditunjukkan oleh siswa, maka penting
kiranya untuk memperhatikan hal-hal lainnya di bawah ini, agar guru dapat
mendeteksi atau menyimpulkan bahwa proses pembelajaran itu telah berhasil. Hal
yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Guru hendaknya paham tentang jenis stimulus apa yang tepat untuk
diberikan kepada siswa.
2. Guru juga mengerti tentang jenis respons apa yang akan muncul pada diri
siswa.
3. Untuk mengetahui apakah respons yang ditunjukkan siswa ini benar-benar
sesuai dengan apa yang diharapkan, maka guru harus mampu :
a. Menetapkan bahwa respons itu dapat diamati (observable)
b. Respons yang ditunjukkan oleh siswa dapat pula diukur (measurable)
c. Respons yang diperlihatkan siswa hendaknya dapat dinyatakan secara
eksplisit atau jelas kebermaknaannya (eksplisit)
d. Agar respons itu dapat senantiasa terus terjadi atau setia dalam
ingatan/tingkah laku siswa, maka diperlukan sekali adanya semacam
hadiah (reward).
Aplikasi teori behavioristik dalam proses pembelajaran untuk
memaksimalkan tercapainya tujuan pembelajaran (siswa menunjukkan tingkah
Muh. Hizbul Muflihin, Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme…
131
laku / kompetensi sebagaimana telah dirumuskan), guru perlu menyiapkan dua
hal, sebagai berikut:
a. Menganalisis Kemampuan Awal dan Karakteristik Siswa
Siswa sebagai subjek yang akan diharapkan mampu memiliki sejumlah
kompetensi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam standar kompetensi
dan kompetensi dasar, perlu kiranya dianalisis kemampuan awal dan
karakteristiknya. Hal ini dilakukan mengingat siswa yang belajar di
sekolah tidak datang tanpa berbekal apapun sama sekali (mereka sangat
mungkin telah memiliki sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang di
dapat di luar proses pembelajaran). Selain itu, setiap siswa juga memiliki
karakteristik sendiri-sendiri dalam hal mengakses dan atau merespons
sejumlah materi dalam pembelajaran.
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh guru jika melakasanakan
analisis terhadap kemampuan dan karakteristik siswa, yaitu :
1. Akan memperoleh gambaran yang lengkap dan terperinci tentang
kemampuan awal para siswa, yang berfungsi sebagai prasyarat
(prerequisite) bagi bahan baru yang akan disampaikan.
2. Akan memperoleh gambaran tentang luas dan jenis pengalaman
yang telah dimiliki oleh siswa. Dengan berdasar pengalaman
tersebut, guru dapat memberikan bahan yang lebih relevan dan
memberi contoh serta ilustrasi yang tidak asing bagi siswa.
3. Akan dapat mengetahui latar belakang sosio-kultural para siswa,
termasuk latar belakang keluarga, latar belakang sosial, ekonomi,
pendidikan, dan lain-lain.
4. Akan dapat mengetahui tingkat pertumbuhan dan perkembangan
siswa, baik jasmaniah maupun rohaniah.
5. Akan dapat mengetahui aspirasi dan kebutuhan para siswa.
6. Dapat mengetahui tingkat penguasaan bahasa siswa.
7. Dapat mengetahui tingkat penguasaan pengetahuan yang telah
diperoleh siswa sebelumnya.
8. Dapat mengetahui sikap dan nilai yang menjiwai pribadi para siswa
(Oemar Hamalik, 2002 : 38 -40)
b. Merencanakan materi pembelajaran yang akan dibelajarkan
Idealnya proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru benar-benar
sesuai dengan apa yang diharapkan oleh siswa dan juga sesuai dengan
kondisi siswa, sehingga di sini guru tidak akan over-estimate dan atau
under-estimate terhadap siswa. Namun kenyataan tidak demikian adanya.
Sebagian siswa ada yang sudah tahu dan sebagian yang lain belum tahu
sama sekali tentang materi yang akan dibelajarkan di dalam kelas. Untuk
dapat memberi layanan pembelajaran kepada semua kelompok siswa yang
mendekati idealnya (sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik
masing-masing kelompok) kita dapat menggunakan dua pendekatan yaitu
a). siswa menyesuaikan diri dengan materi yang akan dibelajarkan, yaitu
dengan cara guru melakukan tes dan pengelompokkan (dalam hal ini tes
Muh. Hizbul Muflihin, Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme…
132
dilakukan sebelum siswa mengikuti pelajaran), atau b). materi
pembelajaran disesuaikan dengan keadaan siswa (Atwi Suparman, 1997 :
108).
Materi pembelajaran yang akan dibelajarkan, apakah disesuaikan dengan
keadaan siswa atau siswa menyesuaikan materi, keduanya dapat didahului dengan
mengadakan tes awal atau tes prasyarat (prerequisite test). Hasil dari prerequisite
test ini dapat menghasilkan dua keputusan, yaitu : siswa dapat dikelompokkan
dalam dua kategori, yakni a) sudah cukup paham dan mengerti, serta b) belum
paham dan mengerti. Jika keputusan yang diambil siswa dikelompokkan menjadi
dua di atas, maka konsekuensinya: materi, guru dan ruang belajar harus dipisah.
Hal seperti ini tampaknya sangat susah untuk diterapkan, karena berimplikasi
pada penyediaan perangkat pembelajaran yang lebih memadai, di samping
memerlukan dana (budget) yang lebih besar. Cara lain yang dapat dilakukan
adalah, atas dasar hasil analisis kemampuan awal siswa dimaksud, guru dapat
menganalisis tingkat persentase penguasaan materi pembelajaran. Hasil yang
mungkin diketahui adalah bahwa pada pokok materi pembelajaran tertentu
sebagian besar siswa sudah banyak yang paham dan mengerti, dan pada sebagian
pokok materi pembalajaran yang lain sebagian besar siswa belum atau tidak
mengerti dan paham.
Rencana strategi pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru terhadap
kondisi materi pembelajaran yang sebagian besar siswa sudah mengetahuinya,
materi ini bisa dilakukan pembelajaran dalam bentuk ko-kurikuler (siswa diminta
untuk menelaah dan membahas di rumah atau dalam kelompok belajar, lalu
diminta melaporkan hasil diskusi kelompok dimaksud). Sedangkan terhadap
sebagian besar pokok materi pembelajaran yang tidak dan belum diketahui oleh
siswa, pada pokok materi inilah yang akan dibelajarkan secara penuh di dalam
kelas.
Sedangkan langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan
teori behaviorisme dalam proses pembelajaran adalah :
1. Mengidentifikasi tujuan pembelajaran.
2. Melakukan analisis pembelajaran
3. Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal pembelajar
4. Menentukan indikator-indikator keberhasilan belajar.
5. Mengembangkan bahan ajar (pokok bahasan, topik, dll)
6. Mengembangkan strategi pembelajaran (kegiatan, metode, media dan
waktu)
7. Mengamati stimulus yang mungkin dapat diberikan (latihan, tugas, tes dan
sejenisnya)
8. Mengamati dan menganalisis respons pembelajar
9. Memberikan penguatan (reinfrocement) baik posistif maupun negatif, serta
10. Merevisi kegiatan pembelajaran (Mukminan, 1997: 27).
Penutup
Teori behavioristik sebagai sebuah konsep filosofis pembelajaran dalam
aplikasinya memerlukan penyesuaian dan penetapan prosedur yang berbeda jika
Muh. Hizbul Muflihin, Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme…
133
dibanding dengan percobaannya terhadap binatang. Ciri umum teori behavioristik
adalah : mementingkan adanya pengaruh lingkungan, bagian (elementaristic)
lebih penting dari pada keseluruhan (gestalt). Selain itu, terbentuknya hasil belajar
atas dasar adanya reaksi yang ditunjukkan oleh siswa. Penerapan konsep teori
behavioristik ini juga meminta guru untuk mampu melakukan analisis
kemampuan awal dan karaakteristik siswa, dengan maksud agar apa yang akan
dibelajarkan sesuai dengan kondisi siswa yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muh. 1978. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Davies, WCR. 1971. The Management of Learning. London: Mc Graw Hill Book
Company.
Ghafur, Abdul. 1980. Disain Instruksional. Suatu Langkah Sistematis
Penyusunan Pola Dasar Kegiatan Balajar dan Mengajar. Solo: Tiga
Serangkai.
Hamalik, Oemar. 2002. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan
Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.
Mukminan. 1997. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: P3G IKIP.
Pereivel & Ellington. 1984. A Handbook of Educational Technology. London:
Koga Page Ltd.
Suparman, Atwi. 1997. Desain Instruksional. Jakarta: Pusat Antar Universitas.
Wuryani Djiwandono, Sri Esti. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.

Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) sebagai Salah Satu Strategi Membangun Pengetahuan Siswa

Paradigma lama tentang proses pembelajaran yang bersumber pada teori tabula rasa
John Lock dimana pikiran seorang anak seperti kertas kosong dan siap menunggu coretancoretan
dari gurunya sepertinya kurang tepat lagi digunakan oleh para pendidik saat ini.
Tuntutan pendidikan sudah banyak berubah. Pendidik perlu menyusun dan melaksanakan
kegiatan belajar mengajar dimana anak dapat aktif membangun pengetahuannya sendiri. Hal
ini sesuai dengan pandangan kontruktivisme yaitu keberhasilan belajar tidak hanya
bergantung pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa.
Belajar melibatkan pembentukan “makna” oleh siswa dari apa yang mereka lakukan, lihat,
dan dengar.
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang dikembangkan
dari teori kontruktivisme karena mengembangkan struktur kognitif untuk membangun
pengetahuan sendiri melalui berpikir rasional (Rustaman et al., 2003: 206).


1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Sistem pembelajaran gotong royong atau cooperative learning merupakan sistem
pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama
siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Pembelajaran kooperatif dikenal dengan
pembelajaran secara berkelompok. Tetapi belajar kooperatif lebih dari sekedar belajar
kelompok atau kerja kelompok karena dalam belajar kooperatif ada struktur dorongan atau
tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka
dan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif diantara anggota kelompok (Sugandi, 2002:
14). Hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa
yang dapat dilakukan siswa untuk mencapai keberhasilan belajar berdasarkan kemampuan
dirinya secara individu dan andil dari anggota kelompok lain selama belajar bersama dalam
kelompok. Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka harus diterapkan lima unsur model
pembelajaran gotong royong, yaitu:
a. Saling ketergantungan positif.
b. Tanggung jawab perseorangan.
c. Tatap muka.
d. Komunikasi antar anggota.
e. Evaluasi proses kelompok


2. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif
Karakteristik pembelajaran kooperatif diantaranya:
a. Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis.
b. Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan
rendah, sedang, dan tinggi.
c. Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku,
budaya, dan jenis kelamin.
d. Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu.
Selain itu, terdapat empat tahapan keterampilan kooperatif yang harus ada dalam
model pembelajaran kooperatif yaitu:
a. Forming (pembentukan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk membentuk
kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma.
b. Functioniong (pengaturan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatur
aktivitas kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina hubungan kerja sama
diantara anggota kelompok.
c. Formating (perumusan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk pembentukan
pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan-bahan yang dipelajari, merangsang
penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menekankan penguasaan serta
pemahaman dari materi yang diberikan.
d. Fermenting (penyerapan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk merangsang
pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif, mencari lebih banyak
informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk memperoleh kesimpulan.


3. Teknik Pembelajaran Kooperatif
Teknik pembelajaran kooperatif diantaranya:
a. Mencari Pasangan
- Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep.
- Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
- Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan
kartunya.
b. Bertukar Pasangan
- Setiap siswa mendapatkan satu pasangan.
- Guru memberikan tugas dan siswa mengerjakan tugas dengan pasangannya
- Setelah selesai, setiap pasangan bergabung dengan pasangan lain.
- Kedua pasangan tersebut bertukar pasangan kemudian saling menanyakan dan
mengukuhkan jawaban.
- Temuan baru yang diperoleh dari pertukaran pasangan kemudian dibagikan kepada
pasangan semula.
c. Kepala Bernomor
- Siswa dibagi dalam kelompok dan setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat
nomor.
- Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
- Kelompok memutuskan jawaban yang dianggap paling benar dan memastikan
setiap anggota kelompok mengetahui jawaban ini.
- Guru memanggil salah satu nomor. Siswa dengan nomor yang dipanggil
melaporkan hasil kerja sama mereka.
d. Keliling Kelompok
- Salah satu siswa dalam masing-masing kelompok memulai dengan memberikan
pandangan dan pemikirannya mengenai tugas yang sedang dikerjakan.
- Siswa berikutnya juga ikut memberikan kontribusinya.
- Demikian seterusnya. Giliran bicara bisa dilaksanakan menurut arah perputaran
jarum jam atau dari kiri ke kanan.
e. Kancing Gemerincing
- Guru menyipkan satu kotak kecil berisi kancing-kancing.
- Setiap siswa dalam kelompok mendapatkan dua atau tiga buah kancing.
- Setiap kali seorang siswa berbicara, dia harus menyerahkan salah satu kancingnya.
- Jika kancingnya sudah habis, dia tidak boleh berbicara lagi sampai kancing semua
rekannya habis.
f. Dua Tinggal Dua Tamu
- Siswa bekerja sama dalam kelompok berempat.
- Setelah selesai, dua orang dari setiap kelompok meninggalkan kelompoknya dan
bertamu ke kelompok yang lain.
- Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan
informasi ke tamu mereka.
- Tamu mohon diri dan kembali ke kelompoknya kemudian melaporkan hasil
temuannya.
- Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.


Pustaka
Lie, A. (2002) Cooperative Learning Mempraktikan Cooperative Learning di Ruang-ruang
Kelas. Jakarta: Grasindo.
Rustaman, N., Dirdjosoemarto, S., Yudianto, S.A., Achmad, Y., Subekti, R., Rochintaniawati,
D., & Nurjhani, M. (2003). Common Text Book Strategi Belajar mengajar Biologi.
(Edisi Revisi). Bandung: JICA-IMSTEP-UPI.
Sugandi, A.I. (2002). Pembelajaran Pemecahan Masala Matmatika Melalui Model Belajar
Kooperatif Tope Jigsaw. (Studi Eksperimen terhadap Siswa Kelas Satu SMU Negeri
di Tasikmalaya). Tesis PPS UPI: Tidak diterbitkan.
RENCANA PEMBELAJARAN
Nama Sekolah : SD Bina Talenta
Mata pelajaran : PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP
Kelas / Semester : III / 1
Alokasi Waktu : X 35’
Pertemuan :
A. Standar Kompetensi :
Memahami kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan dan upaya
menjaga kesehatan lingkungan.
B. Kompetensi Dasar :
Memahami kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan.
C. Indikator :
1. Menjelaskan ciri-ciri lingkungan sehat.
2. Menjelaskan ciri-ciri lingkungan tidak sehat.
3. Menjelaskan jenis-jenis pencemaran lingkungan.
4. Memberikan contoh-contoh pencemaran.
D. Tujuan Pembelajaran :
1. Siswa dapat menjelaskan ciri-ciri lingkungan sehat.
2. Siswa dapat menjelaskan ciri-ciri lingkungan tidak sehat.
3. Siswa dapat enjelaskan jenis-jenis pencemaran lingkungan.
4. Siswa dapat memberikan contoh-contoh pencemaran.
E. Materi Ajar :
Lingkungan sehat dan lingkungan tidak sehat
F. Metode Pembelajaran :
Ceramah dan Pembelajaran kooperatif teknik kancing gemerincing.
G. Langkah pembelajaran
1. Kegiatan Awal
Absensi & apersepsi
Guru menunjukkan gambar lingkungan sehat dan tidak sehat kemudian
bertanya kepada siswa bagaimana kondisi lingkungan pada gambar.
Guru menginformasikan materi yang akan dipelajari yaitu tentang
lingkungan sehat dan tidak sehat.
2. Kegiatan Inti
• Siswa dibagi dalam kelompok, tiap kelompok terdiri dari 4 orang siswa.
• Guru meyiapkan satu kotak kecil yang berisi kancing-kancing (bisa juga
benda-benda kecil lainnya, seperti kacang merah, batang-batang lidi, bijibijian,
dan lain-lain)
• Guru membagikan LKS kepada setiap siswa.
• Sebelum kelompok mengerjakan tugasnya, setiap siswa dalam masingmasing
kelompok mendapatkan dua atau tiga buah kancing(sesuai dengan
kebutuhan)
• Setiap kali seorang siswa berbicara atau mengeluarkan pendapat, dia
harus menyerahkan salah satu kancingnya dan meletakkannya di tengahtengah.
• Jika kancing yang dimiliki seorang siswa telah habis, dia tidak boleh
berbicara lagi sampai semua rekannya menghabiskan kancing mereka.
• Setelah tugas selesai, guru dan siswa membahas hasil diskusi dengan
meminta perwakilan kelompok menyampaikan hasil diskusi mereka,
3. Kegiatan Akhir
Guru meminta salah seorang siswa untuk menyimpulkan materi yang
sudah di pelajari.
Guru mengevaluasi siswa dengan memberikan pos tes.
Guru memberikan tugas pada siswa.
Guru menginformasikan materi yang akan dipelajari pada pertemuan
berikutnya.
H. Sumber Pembelajaran
Buku paket
I. Media pembelajaran
• Gambar lingkungan sehat dan tidak sehat
• Kancing-kancing
J. Penilaian
Teknik : tes tertulis dan lisan.
Bentuk : uraian
Instrumen : terlampir.

Pengembangan KTSP Melalui Strategi Pembelajaran Kontekstual

Seiring dengan berlakunya era otonomi daerah serta dalam rangka penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, pemerintah telah merumuskan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Mulai 2006 yang lalu, pemerintah telah menerapkan KTSP secara serentak di sekolah-sekolah setelah melalui uji coba sejak tahun 2004 di beberapa sekolah tertentu, melalui embrio KBK.KTSP memiliki konsep pendekatan pembelajaran yang berbeda dengan kurikulum 1994, yaitu berbasis kompetensi dimana fokus program sekolah adalah pada siswa serta apa yang akan dikerjakan oleh mereka dengan memperhatikan kecakapan hidup (life skill) dan pembelajaran kontekstual. Dalam pengembangannya, seluruh elemen sekolah dan masyarakat perlu terlibat secara langsung, antara lain kepala sekolah, komite sekolah, guru, karyawan, orang tua siswa serta siswa.Sebuah kurikulum tidak hanya sekedar instruksi pembelajaran yang disusun oleh pemerintah untuk diterapkan di sekolah masing-masing. Sinclair (2003) menegaskan bahwa kurikulum yang baik adalah yang memberi keleluasaan bagi sekolah untuk mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan khusus peserta didik sesuai tuntutan lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu, sekolah memiliki wewenang penuh dalam mengimplementasikan berbagai pendekatan maupun metode dalam proses belajar mengajar.Salah satu unsur terpenting dalam penerapan KTSP sangat tergantung pada pemahaman guru untuk menerapkan strategi pembelajaran kontekstual di dalam kelas. Akan tetapi, fenomena yang ada menunjukkan sedikitnya pemahaman guru mengenai strategi ini. Oleh karena itu diperlukan suatu model pengajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual yang mudah dipahami dan diterapkan di kelas secara sederhana.Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan yang atau peristiwa yang akan terjadi disekelilingnya. Pembelajaran ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer imu pengetahuan, mengumpulkan dan menganalisis data, memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara individu maupun kelompok.Dalam kurikulum berbasis kompetensi, guru dapat menggunakan strategi pembelajaran kontekstual dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu: memberikan kegiatan yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa, lebih mengaktifkan siswa dan guru, mendorong berkembangnya kemampuan baru, menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah, rumah dan lingkungan masyarakat. Melalui pembelajaran ini, siswa menjadi lebih responsif dalam menggunakan pengetahuan dan ketrampilan di kehidupan nyata sehingga memiliki motivasi tinggi untuk belajar.

Beberapa strategi pengajaran yang dapat dikembangkan oleh guru melalui pembelajaran kontekstual, antara lain:


1. Pembelajaran berbasis masalah
Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian siswa diminta untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan perspektif yang berbeda dengan mereka.


2. Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar
Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan siswa antara lain di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar kelas. Misalnya, siswa keluar dari ruang kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan wawancara. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.


3. Memberikan aktivitas kelompok
Aktivitas belajar secara kelompok dapat memperluas perspektif serta membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari tiga, lima maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat kesulitan penugasan.


4. Membuat aktivitas belajar mandiri
Peserta didik tersebut mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).


5. Membuat aktivitas belajar bekerjasama dengan masyarakat
Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama juga dapat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan pengalaman kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang di tempat kerja.


6. Menerapkan penilaian autentik
Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar-mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portfolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis.
Portfolio merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa dalam konteks belajar di kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka memperoleh kebebasan dalam belajar. Selain itu, portfolio juga memberikan kesempatan yang lebih luas untuk berkembang serta memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian angka, melainkan melihat pada proses siswa sebagai pembelajar aktif. Sebagai contoh, siswa diminta untuk melakukan survey mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.
Tugas kelompok dalam pembelajaran kontekstual berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya belajar, minat, serta bakat dari masing-masing siswa. Isi dari proyek akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok proyek untuk menyelidiki penyebab pencemaran sungai di lingkungan siswa.
Dalam penilaian melalui demonstrasi, siswa diminta menampilkan hasil penugasan kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Para penonton dapat memberikan evaluasi pertunjukkan siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok untuk membuat naskah drama dan mementaskannya dalam pertunjukan drama.
Bentuk penilaian yang terakhir adalah laporan tertulis. Bentuk laporan tertulis dapat berupa surat, petunjuk pelatihan teknis, brosur, essai penelitian, essai singkat.
Menurut Brooks&Brooks dalam Johnson (2002: 172), bentuk penilaian seperti ini lebih baik dari pada menghafalkan teks, siswa dituntut untuk menggunakan ketrampilan berpikir yang lebih tinggi agar dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan diatas, kurikulum berbasis kompetensi perlu dikembangkan supaya dapat diterapkan secara efektif di dalam proses belajar mengajar. Guru sebagai pelaksana kurikulum dapat menerapkan strategi pembelajaran kontekstual supaya dapat memberikan bentuk pengalaman belajar. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat memiliki kecakapan untuk memecahkan permasalahan hidup sesuai dengan kegiatan belajar yang mengarahkan siswa untuk terlibat secara langsung dalam konteks rumah, masyarakat maupun tempat kerja.
Keberhasilan penerapan pembelajaran kontekstual perlu melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, penulis menyarankan supaya pihak sekolah dan masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya beberapa hal, yaitu:sumber belajar tidak hanya berasal dari buku dan guru, melainkan juga dari lingkungan sekitar baik di rumah maupun di masyarakat; strategi pembelajaran kontekstual memiliki banyak variasi sehingga memungkinkan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang berbeda dengan keajegan yang ada; pihak sekolah dan masyarakat perlu memberikan dukungan baik materiil maupun non-materiil untuk menunjang keberhasilan proses belajar siswa